Salah satu karya peserta ekstrakurikuler jurnalistik. Karya ini dibuat pada saat kegiatan dengan materi mengkonkretkan konsep abstrak.
Oleh : Inaya Sheila Fauzia
Ucup berjalan dengan langkah gontai menuju halte bus di dekat kampusnya. Keringat dingin keluar dari tubuh Ucup. tangan nya sesekali bergetar, matanya sesekali ber kedap-kedip untuk memastikan kejadian yang dialaminya hari ini. Otaknya tidak bisa ber fikir jernih.
Kejadian tadi pagi membuatnya seperti orang gila sekarang.
Berkali-kali ia berusaha mengatur nafasnya yang tidak beraturan, sesekali ia menampar pipinya dan berharap ini semua adalah mimpi.
“Ucup! Lo ngapain? Bus jurusan kita bentar lagi dateng.” Andi menepuk bahu Ucup, dan membuyarkan lamunannya.
“Eh … gue … lo duluan aja, gue bakal nunggu jurusan selanjutnya.” senyum terpaksa terpampang di wajah Ucup dan membuat Andi yang melihatnya hanya menatap dengan raut muka aneh.
“Lo kenapa sih? Buluk tau gak kalo lo masang wajah kek gitu.” Andi mengambil tempat di samping Ucup, dia mengubur niatnya untuk pulang lebih cepat.
“Gue gak papa kok! Lu pulang aja Ndi, pasti Mama lo udah nungguin.” Ucup mendorong tubuh Andi.
Bukannya marah, Andi malah bersemangat untuk mengetahui apa yang melanda perasaan teman kampus sekaligus tetangga rumahnya.
“Gue gak akan pulang, kalo lo gak pulang. Urusan Mama gue belakangan. Gue rela di tabok sama popok bekas adek gue.” Andi mendekatkan dirinya, dia menghela nafas.
“Anggap aja gue tempat pelampiasan curhat lo Cup! Kalo lo gini terus, nggak mau terbuka, lo bisa stress ama depresi. Kan gak enak, suasana kampus entar jadi sepi kek kuburan nenek gue.” ujar Andi mantap, dia yakin bahwa ada masalah berat yang membuat Ucup yang biasanya seperti pasien rumah sakit jiwa, sekarang terlihat seperti orang yang habis diputusin pacar.
Kata-kata Andi membuat raut muka Ucup, seketika berubah. Matanya tertutup sejenak, sesekali dia menghembuskan nafas dengan kasar dan mengepalkan tangannya, sesekali ia menggigit bibir bawahnya dan membuat kulitnya terkelupas.
Mata Ucup semakin panas, ingin sekali dia berteriak dan menumpahkan air matanya. Namun dia sadar, bahwa tidak pantas bagi anak seusia dirinya untuk menangis di tempat umum seperti ini apalagi dia seorang laki-laki.
“Cerita apa aja ke gue Cup, lo gak akan kuat nanggung beban kayak gini.” Andi memegang pundak Ucup.
“Gue gak apa kok Ndi, lo pulang aja. Makasih udah nemenin, gue pulang dulu.” Ucup tersenyum, terlihat sekali kalau dia berusaha menahan rasa sakit yang memang sudah ingin ia lampiaskan.
“Tapi Cup .. lo …” ucapan Andi terhenti ketika Ucup sudah membuka pintu taxi.
“Gue gak papa Ndi … makasih waktunya.” Ucup tersenyum lalu menutup pintu mobil tersebut.
“Perumahan sawo pak.”
Mobil melaju dengan kecepatan rata-rata, menerobos derasnya hujan yang tidak berhenti sejak Ucup meninggalkan Andi di halte bus tadi.
Dia menyandarkan kepalanya di kaca mobil, sambil membuang nafas, matanya terpejam. Dan sekarang mengingat nama wanita yang selalu Ucup kenal.
Dewi ….
Kejadian pagi tadi terulang.
UCUP POV.
Gue berlari menerobos banyaknya mahasiswa kampus yang tengah lalu lalang berjalan kesana kemari. Gue nggak peduli dengan apa yang orang-orang omongin atau semacam protes ke gue, karna gue lari dan nggak peduli apa yang orang lakukan.
“Ucup! Lo keterlaluan banget yaaa! Ini gue bawa sop pesanan Pak Rio gembul! Lu mau gue yang di gantiin jadi makan siang nya?!” protes Rere kesal, sambil berusaha menyeimbangkan mangkuk panas yang dia bawa.
“Sorry!” hanya itu yang mungkin bisa gue lakuin, kotak kecil berwarna merah gue pegang erat-erat agar nggak hilang pas gue lari-lari.
Ciit!
Suara sepatu gue terdengar nyaring, karena gue berhenti mendadak.
Susah payah gue atur nafas gue untuk menyampaikan momen berharga ini.
Gue rapiin rambut, baju, dan semua yang bersangkutan dengan diri gue.
“CIEEEE!”
Suara yang begitu keras terdengar jelas di telinga gue. Dengan rasa penasaran, gue mengambil balok kayu dan berdiri di atasnya untuk bisa melihat apa yang terjadi.
“Makasih Dewi! Lo mau nerima lamaran gue.” Andi memeluk Dewi, si putri kampus yang begitu sempurna.
“Undang kita ya Andi! Ternyata si pangeran kampus ngelamar putri kampus! Cocok bangett!” Anton melempar potongan-potongan kecil berwarna merah ke arah mereka berdua.
“Makasih Andi, dengan adanya lo, gue yakin kehidupan kita kedepannya bakal lebih baik.” Dewi memper-erat pelukannya.
AUTHOR POV.
Buk …
Kotak kecil yang Ucup bawa terjatuh, kotak itu terbuka dan memperlihat kan sebuah cincin perak berhiaskan berlian putih yang begitu menyilaukan mata yang melihatnya.
Ucup menggenggam tangannya. Raut mukanya berubah menjadi marah, namun dia mengubah raut mukanya dan membenarkan apa yang dilihatnya hari ini.
*Dewi cantik, dia pintar, kaya, dan punya semuanya pasti cocok kalau disandingkan dengan Andi yang punya tubuh yang sangat diidam-idamkan laki-laki pada umumnya, dia juga tampan, juga termasuk orang kalangan atas. Apalah daya diriku yang bagaikan bintang di antara Bulan dan Bumi. aku terlihat tapi dianggap tidak pernah ada, pantaslah waktu itu Dewi mencaci maki aku yang hanya hidup sebatang kara bahkan tidak punya apa-apa*
Ucup berusaha tersenyum.
Namun apa daya nya? Hati tidak bisa membohongi nya hari ini.
Tuhan berkata lain dengan memberikan Dewi kepada sahabat nya sendiri Andi.
Brugh!
Tubuh Ucup terasa sakit … sangat sakit, namun rasa sakit ini belum bisa mengalahkan rasa sakit yang berada di dalam hatinya.
Kepala Ucup terasa pusing, melihat sekeliling nya yang sudah hancur berantakan.
“Cepat telfon Ambulance! Telfon polisi!” seseorang berteriak histeris melihat pemandangan yang baru saja terjadi.
“Selamat sore pemirsa, kabar terbaru di jalan Ir. Soekarno. Kecelakaan beruntun terjadi, satu taxi, empat pengendara bermotor, dan dua mobil pribadi menjadi korban dalam kejadian mengerikan ini. Dikabarkan dari Rumah Sakit Harapan, bahwa semua yang menjadi korban kecelakaan ini tewas dan tidak ada yang selamat. Pihak Polisi pun mengatakan ini semua terjadi karena adanya pengemudi yang lalai dan tidak memperhatikan pengemudi lain di sekitarnya, saya Winda Wardani undur diri.”